Beranda | Artikel
Hak Isteri Adalah Diberi Nafkah
Minggu, 20 Mei 2007

HAK ISTERI

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

11. DI ANTARA HAK ISTERI ADALAH DIBERI NAFKAH
Isteri dan anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah, yaitu nafkah yang tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kikir; berdasarkan firman-Nya:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“… Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….” [Al-Baqarah/2: 233]

Nafkah tersebut tidak cukup berupa makanan dan minuman saja, tetapi mencakup tempat tinggal, makanan dan pakaian, sebagaimana firman-Nya:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka…” [Ath-Thalaaq/85: 6].

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuhma berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“… Para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya….” (. Al-Baqarah: 228): “Kaum pria diperintahkan untuk memperlakukan isteri dengan baik dan mencukupi keuangan isteri-isterinya.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sebagian hak-hak ini dalam sabdanya kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang hak istri atas suaminya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa hak isteri salah seorang dari kami terhadapnya?’ Beliau menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.

‘(Yaitu) engkau memberi makan kepadanya ketika engkau makan, dan memberi pakaian kepadanya ketika engkau berpakaian. Tidak memukul wajahnya, tidak mencacinya dan tidak pula mengucilkannya, kecuali di dalam rumah.’”[1]

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.

“Seseorang sudah cukup berdosa bila menyia-nyiakan siapa yang wajib diberinya makan.”[2]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ، أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ، حَتَّى يُسْأَلَ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ.

‘Sesungguhnya Allah (akan) bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya; apakah dia memelihara hal itu atau menyia-nyiakannya, sehingga seseorang ditanya tentang keluarganya.’”[3]

Dari Qais bin Hazim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهِ لأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُـمْ فَيَحْتَطَبَ عَلَـى ظَهْرِهِ، فَيَبِيْعَهُ، وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ، وَيَتَصَدَّقَ مِنْهُ، خَيْـرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِـيَ رَجُلاً فَيَسْأَلَهُ، يُؤْتِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ، وَذَلِكَ أَنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

‘Demi Allah, salah seorang dari kalian pergi pada pagi hari untuk mencari kayu bakar (lalu dipikul) di atas punggungnya, kemudian menjualnya, merasa cukup dengannya dan ber-shadaqah dengannya, hal itu lebih baik baginya daripada men-datangi seseorang lalu meminta kepadanya, yang bisa jadi diberi ataupun ditolak. Sebab, tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dari siapa yang harus engkau cukupi kebutuhannya.’”[4]

Dalam sebuah riwayat ditanyakan: “Siapakah yang harus aku cukupi kebutuhannya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: اِمْرَأَتُكَ مِمَّنْ تَعُوْلُ “Isterimu termasuk orang yang harus engkau cukupi kebutuhannya.”[5] Dia (isteri) mengatakan, “Berilah aku makan, jika tidak, ceraikanlah aku.” Sahaya wanitamu mengatakan, “Berilah aku makan dan manfaatkanlah aku.” Sedangkan anakmu mengata-kan: “Kepada siapa engkau meninggalkanku?”[6]

Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: “Mereka bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah, apakah perkataan ini dari Rasulullah?’ Ia menjawab: ‘Tidak, ini berasal dari akal Abu Hurairah.’”[7]

Ahmad meriwayatkan dari Wahb, ia menuturkan, Maula ‘Abdullah bin ‘Amr berkata kepadanya: “Aku ingin bermukim pada bulan ini di sini, di Baitul Maqdis.” Dia (‘Abdullah) bertanya kepadanya, “Apakah kau meninggalkan kepada keluargamu untuk makan mereka selama sebulan ini?” Ia menjawab, “Tidak.” Dia mengatakan, “Kembalilah kepada keluargamu, dan tinggalkan untuk mereka makanan mereka. Sebab, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.

‘Seseorang sudah cukup berdosa bila menyia-nyiakan siapa yang wajib diberinya makan.`”[8]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang:

اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ، فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَّلَ شَيْئٌ فَلأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْـئٌ فَلِذِيْ قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِيْ قَرَابَتِكَ شَيْئٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَقُوْلُ: فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِيْنِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ.

“Mulailah dengan dirimu sendiri, dan bershadaqahlah darinya. Jika ada yang lebih, maka itu untuk keluargamu. Jika ada yang lebih dari kebutuhan keluargamu, maka itu untuk kerabatmu. Dan jika ada yang lebih dari kebutuhan kerabatmu, maka itu untuk yang ini dan yang itu.” Beliau bersabda: “Yaitu di hadapanmu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu.”[9]

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَعْطَى اللهُ أَحَدَكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ.

‘Jika Allah memberikan kenikmatan kepada salah seorang dari kalian, maka mulailah dengan dirinya sendiri dan keluarganya.’”[10]

Hadits-Hadits Mengenai Keutamaan Memberi Nafkah kepada Isteri dan Anak-anak di antaranya:

Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً.

“Jika seorang muslim memberikan (nafkah) kepada keluarganya karena mencari pahala, maka hal itu menjadi shadaqah baginya.”[11]

Hadits yang diriwayatkan dari Sa’ad radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

إِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ عَلَى أَهْلِكَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّكَ تُؤْجَرْ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ.

“Apa pun yang engkau berikan berupa suatu nafkah kepada keluargamu, maka engkau diberi pahala, hingga sampai sesuap makanan yang engkau angkat (masukkan) ke mulut isterimu.”[12]

Catatan Penting :
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Nafkah untuk keluarga adalah wajib, berdasarkan ijma’ syar’i, (dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebutnya sebagai shadaqah, tidak lain karena khawatir mereka menyangka bahwa kewajiban yang mereka laksanakan tidak mendatangkan pahala. Karena mereka telah mengetahui pahala yang terdapat dalam shadaqah, maka beliau memberitahukan kepada mereka bahwa bagi mereka hal itu adalah shadaqah, sehingga mereka tidak mengeluarkan kepada selain keluarga kecuali setelah mereka mencukupi keluarga, guna memotifasi mereka agar mendahulukan shadaqah wajib sebelum shadaqah sunnah.[13]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَـارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَـى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا، اَلَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

“Dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau shadaqahkan untuk orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”[14]

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Seseorang melintas di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu para Sahabat melihat keuletan dan se-mangatnya yang mengagumkan mereka, lalu mereka mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, andai saja ini di jalan Allah?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَوْلاَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهَ يَعِفُّهَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَإِنْ كَـانَ خَرَجَ يَسْعَـى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ.

‘Jika dia keluar untuk berusaha demi anak-anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Jika dia keluar untuk berusaha demi mencukupi dirinya agar tidak meminta-minta, maka dia di jalan Allah. Dan jika dia keluar untuk berusaha karena riya’ dan sombong, maka dia di jalan syaitan.’[15]

Dari Miqdad bin Ma’dikarib radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَـا أَطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَـا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَـا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ.

‘Makanan yang engkau berikan untuk dirimu, maka itu ada-lah shadaqah bagimu, makanan yang engkau berikan untuk anakmu, maka itu adalah shadaqah untukmu, makanan yang engkau berikan kepada orang tuamu, maka itu adalah shadaqah untukmu, makanan yang engkau berikan kepada isterimu, maka itu adalah shadaqah untukmu dan makanan yang engkau berikan kepada pelayanmu, maka itu adalah shadaqah untukmu.”[16]

Dari ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah, ia mengatakan: “Tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi kedudukan berusaha demi keluarga, tidak pula jihad di jalan Allah.”[17]

Dia rahimahullah berkata ketika bersama saudara-saudaranya dalam sebuah peperangan: “Apakah kalian mengetahui amalan yang lebih utama dari apa yang kita lakukan?” Mereka menjawab: “Kami tidak mengetahuinya.” Dia mengatakan, “Aku tahu.” Mereka bertanya: “Apa itu?” Dia menjawab: “Seseorang yang telah berkeluarga dan memelihara dirinya (dari meminta-minta), dia bangun pada malam hari, kemudian ia melihat anak-anaknya tidur dalam keadaan terbuka (badan mereka), maka ia menutupi mereka dan menyelimuti mereka dengan pakaiannya, amalannya ini lebih utama daripada apa yang kita lakukan.”[18]

Tetapi, saudaraku yang budiman, usahamu itu haruslah dari yang halal, tidak mengandung dosa dan syubhat. Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا كَعْبُ ابْنُ عُجْرَةَ! إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ وَدَمٌ نَبَتَا عَلَى سُحْتٍ؛ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ.

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya tidak akan masuk Surga daging dan darah yang tumbuh dari keharaman. Maka Neraka lebih pantas untuknya.”[19]

Karenanya, isteri dari Salafush Shalih berkata kepada suami-nya ketika pergi menuju pekerjaannya: “Bertakwalah kepada Allah! Hati-hati dengan usaha yang haram. Sebab, kami tahan terhadap kelaparan dan kesulitan, tetapi kami tidak tahan terhadap (siksa) api Neraka.”[20]

Catatan Penting :
Jika suami bersifat bakhil atau kikir dan tidak memberikan nafkah wajib kepada isteri dan anak-anaknya, maka isteri boleh mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suaminya, sekedar kebutuhan untuk makan dan pakaian saja, bukan untuk disimpan.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Hindun binti ‘Utbah berkata: ‘Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah pria yang kikir. Ia tidak memberikan nafkah yang mencukupi keperluanku dan anakku, kecuali bila aku mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.’ Maka, beliau bersabda:

خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ.

‘Ambillah apa yang dapat mencukupimu dan anakmu dengan ma’ruf.’”[21]

Peristiwa menarik :
Syaikh Muhammad Isma’il, dalam ‘Audatul Hijaab, menyebutkan sebuah kisah jenaka. Ia mengatakan: “Di antara kisah jenaka tersebut adalah apa yang diriwayatkan tentang kebakhilan seseorang dan terlalu berhitung terhadap keluarganya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab al-Adzkiyaa’, bahwa al-Mughirah bin Syu’bah dan seorang pemuda Arab meminang seorang gadis. Pemuda ini tampan. Maka wanita ini mengirim (utusan) kepada keduanya seraya mengatakan: ‘Kalian berdua telah meminangku, dan aku tidak memberikan jawaban kepada salah seorang dari kalian berdua sebelum melihatnya dan mendengar pembicaraannya. Oleh karena itu, hadirlah jika kalian berdua mau.’ Keduanya pun datang, lalu dia mempersilakan keduanya duduk sehingga bisa melihat keduanya dan mendengar pembicaraan keduanya. Ketika al-Mughirah melihat pemuda ini dan ketampanannya, maka dia agak berkecil hati dan dia tahu bahwa wanita ini tidak akan mengutamakannya dibandingkan pemuda tersebut. Dia menatap pemuda ini -dan dia berfikir untuk keluar- seraya mengatakan kepadanya: ‘Kamu dikaruniai ketampanan dan bahasa yang bagus, apakah kamu memiliki selain itu?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Sambil menyebut-nyebut kebaikannya, kemudian diam. Lalu al-Mughirah bertanya kepadanya: ‘Bagaimana perhitunganmu?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada suatu pun yang luput dari perhitunganku, dan aku benar-benar mengetahui yang lebih kecil dari butir pasir.’ Al-Mughirah berkata kepadanya: ‘Tetapi yang aku (lakukan adalah) meletakkan sekantung uang (yang berisi 1.000 atau 10.000 dirham, atau 7000 dirham) di pojok rumah, lalu keluargaku membelanjakannya sesuai apa yang mereka inginkan. Aku tidak mengetahui habisnya uang tersebut hingga mereka meminta selainnya.’ Wanita ini berkata dalam hatinya: ‘Demi Allah, sungguh lelaki tua yang tidak berhitung denganku ini lebih aku sukai ketimbang pemuda ini yang memperhitungkanku semisal sebutir pasir.’ Akhirnya dia menikah dengan al-Mughirah.”[22]

12. TIDAK DISUKAI, APABILA SUAMI MEMUKUL ISTERINYA SEPERTI HAMBA SAHAYA
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab Liman Yadhribuuna Zaujaatahum Dharban Syadiidan (Kepada Siapa yang Memukul Isterinya dengan Pukulan yang Keras). Dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يَجْلِدُ أَحَدَكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَـا فِيْ آخِرِ الْيَوْمِ.

“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk isterinya seperti mencambuk hamba sahaya, kemudian mencampurinya pada akhir hari.”[23]

Hukuman hendaklah dengan pukulan ringan yang tidak sampai membuat trauma. Oleh karenanya, tidak boleh berlebih-lebihan dalam memukul dan tidak boleh pula menyepelekan hukuman. Yang terbaik adalah tidak menghukum, tetapi jika itu harus dilakukan, maka pukullah dengan pukulan yang ringan, dengan siwak dan sejenisnya. Para ulama sepakat, bahwa tidak memukul dan cukup memberikan ancaman adalah yang terbaik.

Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Iyas bin ‘Abdillah bin Abi Dzubab, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:

لاَ تَضْرِبُوْا إِمَاءَ اللهِ.

‘Janganlah kalian memukul wanita hamba Allah.’

Lalu ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu datang kepada beliau seraya mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, kaum wanita durhaka terhadap suaminya.’ Maka beliau mengizinkan untuk memukul mereka. Kemudian banyak wanita mengunjungi keluarga Muhammad, semuanya mengeluhkan suami mereka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ أَطَـافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ سَـبْعُوْنَ امْرَأَةً، كُلُّهُنَّ يَشْتَكِيْنَ أَزْوَاجَهُنَّ، وَلاَ تَجِدُوْنَ أُوْلَئِكَ خِيَارَكُمْ.

‘70 wanita lebih telah mengunjungi keluarga Muhammad, mereka semua mengeluhkan suami mereka. Dan kalian tidak mendapati mereka sebagai orang-orang yang terbaik di antara kalian.’” [24]

Al-Baghawi v berkata: “Hadits ini berisi dalil bahwa memukul wanita karena menolak hak-hak pernikahan adalah mubah. Kemudian kronologi Sunnah berhadapan dengan al-Qur-an berkenaan dengan memukul, mengandung kemungkinan bahwa larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul mereka berlaku sebelum turunnya ayat ini. Kemudian ketika kaum wanita berbuat durhaka, maka diizin-kan untuk memukul mereka, dan turun ayat al-Qur-an yang menyelarasinya. Lalu ketika mereka berlebih-lebihan dalam memukul, maka beliau mengabarkan bahwa kendati pun memukul itu dibolehkan karena keburukan akhlak mereka, tapi tabah dan bersabar atas keburukan akhlak mereka serta tidak memukul mereka adalah lebih utama dan lebih baik. Penjelasan ini diceritakan dari Imam asy-Syafi’i.[25]

Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangan beliau seorang wanita pun atau pembantunya. Beliau tidak pernah memukul sekali pun, kecuali bila berjihad di jalan Allah.”[26]

Dari Luqaith bin Shabirah, bahwa dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang isteri yang berlisan buruk.” Beliau berkata: “Ceraikanlah!” Aku katakan: “Aku mempunyai anak darinya, dan dia mempunyai sahabat.” Beliau berkata: “Perintahkan kepadanya (yakni nasihatilah). Jika dalam dirinya ada kebaikan, maka dia akan menerimanya. Oleh karenanya, janganlah memukul isterimu sebagaimana engkau memukul hamba sahayamu.”[27]

Hadits ini berisi isyarat lembut tentang bolehnya memukul, setelah tidak mau lagi menerima nasihat. Tetapi syarat pukulan itu tidak melukai, sebagaimana telah kami sebutkan.[28]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Abu Dawud, (no. 2142) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah, (no. 1850) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Abu Dawud (no. 1692) kitab az-Zakaah, Ahmad (no. 6459). Menurut Syaikh al-Albani, hadits ini lemah dengan lafazh demikian, tetapi Muslim meriwayatkannya dalam kitab az-Zakaah (no. 996) dengan lafazh: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ “Cukuplah seseorang berdosa, apabila menahan makanannya terhadap orang yang berada dalam kekuasannya.”
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 1705) kitab al-Jihaad, Ibnu Hibban (no. 1562), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VI/281), al-Hafizh dalam al-Fat-h (XIII/113) meni-lainnya sebagai hadits shahih. Dan Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam ash-Shahiihah, (no. 1636).
[4]. HR. Muslim (no. 1036) kitab az-Zakaah, at-Tirmidzi (no. 2343) kitab az-Zuhd, ia berkata: “Hadits (ini) hasan shahih”, Ahmad (no. 21762).
[5]. HR. Ad-Daraqutni (III/296), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (III/317) dan menilai sanadnya bagus.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5356) kitab an-Nafaqaat, an-Nasa-i (no. 2535) kitab az-Zakaah, Abu Dawud (no. 1678) kitab az-Zakaah.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 5356) kitab an-Nafaqaat, an-Nasa-i (no. 2535) kitab az-Zakaah, Abu Dawud (no. 1678) kitab az-Zakaah.
[8]. HR. Muslim (no. 996), kitab az-Zakaah.
[9]. HR. Muslim (no. 997) kitab az-Zakaah, an-Nasa-i (no. 6453) kitab al-Buyuu’.
[10].HR. Muslim (no. 1822) kitab al-Imaarah, Ahmad (no. 20319), ath-Thabrani (II/217).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 55) kitab al-Iimaan, Muslim (no. 1002) kitab az-Zakaah, at-Tirmidzi (no. 1965) kitab al-Biir wash Shilah, an-Nasa-i (no. 2545) kitab al-Iimaan, Ahmad (no. 16661), ad-Darimi (no. 2664).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 56) kitab al-Iimaan, Muslim (no. 1628) kitab al-Washiyyah, at-Tirmidzi (no. 2116) kitab al-Washiyyah, Abu Dawud (no. 2864) kitab al-Washiyyah, Ahmad (no. 1477).
[13]. Fat-hul Baari (IX/498).
[14]. HR. Muslim (no. 995) kitab az-Zakaah, Ahmad (no. 9769), al-Baihaqi (VII/467).
[15]. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/8), dengan tambahan:
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِيْ سَبِيْل اللهِِِ.
“Jika dia keluar untuk berusaha demi kedua orang tuanya yang sudah tua, maka dia dijalan Allah.”
[16]. HR. Ibnu Majah (no. 2138) kitab at-Tijaarah, Ahmad (no. 16727), dan dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1739).
[17]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VIII/399).
[18]. Al-Ihyaa’ (IV/701).
[19]. HR. Ahmad (no. 14032), ad-Darimi (no. 2776) kitab ar-Raqaa-iq, Ibnu Hibban (no. 261), al-Hakim (IV/422). Ia menshahihkannya dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 861).
[20]. Al-Ihyaa’ (I/748).
[21]. HR. Al-Bukhari (no. 2211) kitab al-Buyuu’, Muslim (no. 1714) kitab al-Aqdhiyyah, an-Nasa-i (no. 5420) kitab Aadaabul Qadhaa’, Abu Dawud (no. 3532) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2293) kitab at-Tijaarah, Ahmad (no. 23597).
[22]. ‘Audatul Hijaab (II/318).
[23]. HR. Al-Bukhari (no. 5204) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2855) kitab al-Jannah wa Shifatu Na’iimiha wa Ahlihaa, at-Tirmidzi (no. 3343) kitab Tafsiirul Qur-aan, Ibnu Majah (no. 1983) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 15788), ad-Darimi (no. 2220) kitab an-Nikaah.
[24]. HR. Abu Dawud (no. 2146), Ibnu Majah (no. 1985) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2219) kitab an-Nikaah, Ibnu Hibban (no. 1316). Ia menshahih-kannya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (V/30).
[25]. Syarhus Sunnah (IX/187).
[26]. HR. Al-Bukhari (no. 3560) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2328) kitab al-Fadhaa-il, Abu Dawud (no. 3785) kitab al-Adab, Ahmad (no. 23514), Malik (no. 1671) kitab al-Jaami’, ad-Darimi, (no. 2218) kitab an-Nikaah.
[27]. HR. Abu Dawud (no. 142) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 1549), Ibnu Hibban (no. 159) dan ia menshahihkannya, al-Hakim (IV/110-160), dan ia menshahihkannya, serta disetujui adz-Dzahabi.
[28]. Penulis ‘Audatul Hijaab (II/463), menyandarkannya kepada al-Fathur Rabbaanii (XVI/232).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2119-diantara-hak-isteri-adalah-diberi-nafkah-tidak-disukai-apabila-memukul-seperti-hamba-sahaya.html